(Mohon dikoreksi jika terjadi kesalahan penulisan transkrip)
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Sodara Pemirsa…
Kita pernah berkata bahwa perkawinan hendaknya langgeng, apa yang disatukan Allah sewajarnya tidak diputus. Dalam konteks kelanggengan itulah Allah menyatakan bahwa perkawinan itu adalah “mitsaaqan ghaliidha” (ikatan yang sangat kukuh). Dia kukuh karena pengikatnya tiga hal pokok yaitu mawaddah, rahmah, dan amanat. Kalau mawaddah putus masih ada rahmah, kalau rahmah putus masih ada amanah. Dan memang kalau hidup tanpa amanah maka perut bumi lebih baik bagi yang bersangkutan dari permukaannya. Tiga tali temali ikatan perkawinan itu kemudian direkat dengan kalimat Allah.
Nabi SAW bersabda “Berbaik baiklah kepada pasanganmu karena engkau memperolehnya berkat kalimat Allah dan menjadi Halal hubungan kamu karena amanat yang engkau telah terima”.
Sodara…
Kalimat Allah luhur, kalimatullahi hiyal ‘ulya, demikian kata Al-Qur’an. Kalimat Allah itu bercirikan Fiqran wa a‘dlan laa mubaddila li kalimaatih. Fiqran artinya kebenaran dan kejujuran, ‘Adlan adalah keadilan, dan Dia tidak ada yang mengubahnya.
Dengan kalimat itulah Allah menciptakan Isa AS tanpa Ayah, dan menganugerahkan Zakaria putra yaitu Yahya yang dilukiskan sebagai seseorang yang pandai menahan diri, seorang yang terkemuka serta seorang yang dikagumi kepada Allah. Itulah kalimat dan tali temali perkawinan sehingga dia seharusnya langgeng dan selalu di dalam kesucian kebenaran dan sifat asih.
Sodara.. ikatan terakhir dari perkawinan adalah amanah. Amanah seakar dengan kata iman dan aman. Seorang tidak mungkin akan menyerahkan amanah kalau siapa yang diserahinya itu tidak dia percaya bahwa barang yang diserahkannya aman di tangannya. Seorang ayah seorang ibu tidak mungkin akan menyerahkan putra atau putrinya kecuali kepada siapa yang dia percaya dan merasa bahwa putra dan putrinya aman bersama pasangannya. Seorang wanita tidak mungkin akan rela meninggalkan ibu bapaknya untuk pergi kepada seorang yang baru dikenalnya kalau dia tidak percaya kepada siapa yang dia pergi bersama atau siapa yang disuntingnya, itu amanah.
Amanah, dua ciri pokoknya, amanah selalu bersama siapa yang diberi amanah dan amanah juga selalu dijunjung tinggi oleh yang menerimanya, siapa yang tidak ingin selalu bersama memelihara amanah maka dia bukan orang yang wajar menerima amanah, dan siapa yang tidak menjunjung tinggi amanah itu maka dia tidak wajar pula untuk menerima amanah.
Kehidupan suami istri yang dijalin mawaddah, rahmah, dan amanah itu menjadikan mereka menyatu itu sebabnya ikatan perkawinan tidak dinamai mu’amalah. Mu’amalah itu adalah hubungan timbal balik yang biasanya didasarkan oleh materi, sedangkan mu’asyarah adalah hubungan yang menyatu yang tidak lagi dapat dipisahkan antara sesuatu dengan yang lain karena telah bercampur dan menyatu sedemikian rupa.
Orang yang berbisnis melakukan mu’amalah, seorang yang berjual beli melakukan mu’amalah. Sedangkan perkawinan bukan jual beli bukan bisnis, dia adalah suatu ikatan yang luhur yang suci yang menjadikan suami istri menyatu dalam langkahnya, menyatu dalam keduanyaa, dan hidup dalam kehidupan harmonis.
0 comments:
Posting Komentar